BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perkembangan Moral Remaja
a. Moral
Secara kebahasaan perkataan moral berasal dari ungkapan bahasa latin yaitu
mores yang merupakan bentuk jamak dari perkataan mos yang berarti adat
kebiasaan. Dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah
penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Istilah moral biasanya
dipergunakan untuk menentukan batas-batas suatu perbuatan, kelakuan, sifat dan
perangai yang dinyatakan benar, salah, baik, buruk, layak atau tidak layak, patut
maupun tidak patut. Moral dalam istilah dipahami juga sebagai:
1. Prinsip hidup
yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk.
2. Kemampuan
untuk memahami perbedaan benar dan salah.
3. Ajaran atau
gambaran tentang tingkah laku yang baik.
Moral ialah
tingkah laku yang telah ditentukan oleh etika. Moral terbagi menjadi dua yaitu:
1. Baik;
segala tingkah laku yang dikenal pasti oleh etika sebagai baik.
2. Buruk;
tingkah laku yang dikenal pasti oleh etika sebagai buruk.
Menurut Purwadarminto moral juga diartikan sebagai ajaran baik dan buruk
perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya. Dalam moral diatur
segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan suatu perbuatan
yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan
untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang salah. Dengan
demikian moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.
Menurut Hadiwardoyo moral dapat diukur secara subyektif dan obyektif. Kata
hati atau hati nurani memberikan ukuran yang subyektif, adapun norma memberikan
ukuran yang obyektif. Apabila hati nurani ingin membisikan sesuatu yang benar,
maka norma akan membantu mencari kebaikan moral. Kemoralan merupakan sesuatu
yang berkaitan dengan peraturan-peraturan masyarakat yang diwujudkan di luar
kawalan individu. Dorothy Emmet(1979) mengatakan bahwa manusia bergantung
kepada tatasusila, adat, kebiasaan masyarakat dan agama untuk membantu menilai
tingkahlaku seseorang. Moral berkaitan dengan moralitas. Moralitas adalah sopan
santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau sopan santun.
Moralitas adalah pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa yang
benar dan salah berdasarkan standar moral. Moralitas dapat berasal dari sumber
tradisi atau adat, agama atau sebuah ideologi atau gabungan dari beberapa
sumber. Standar moral ialah standar yang berkaitan dengan persoalan yang
dianggap mempunyai konsekuensi serius, didasarkan pada penalaran yang baik
bukan otoritas kekuasaan, melebihi kepentingan sendiri, tidak memihak dan
pelanggarannya diasosiasikan dengan perasaan bersalah, malu, menyesal, dan
lain-lain.Moralitas memiliki tiga komponen:
1. Komponen afektif/emosional terdiri dari berbagai jenis
perasaan (seperti perasaan bersalah, malu, perhatian terhadap perasaan orang
lain, dan sebagainya) yang meliputi tindakan benar dan salah yang memotivasi
pemikiran dan tindakan moral. Komponen afektif moralitas (moral affect)
merupakan berbagai jenis perasaan yang menyertai pelaksanaan prinsip etika.
Islam mengajarkan pentingnya rasa malu untuk melakukan perbuatan yang
tidak baik sebagai sesuatu yang penting. Hadist menyatakan: Dari Ibnu
Umar r.a, ia berkata bahwa Rasullah Saw, bersabda “Malu itu pertanda dari
iman.” (HR Buhari dan Muslim) Malu dikatakan sebagai bagian dari iman karena
rasa malu dapat menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak bermoral.
2. Komponen kognitif merupakan pusat dimana seseorang
melakukan konseptualtualisasi benar dan salah, dan membuat keputusan tentang
bagaimana seseorang berperilaku. Komponen kognitif moralitas (moral reasoning)
merupakan pikiran yang ditunjuk seseorang ketika memutuskan berbagai tindakan
yang benar dan salah. Islam mengajarkan bahwa Allah mengilhamkan ke dalam jiwa
manusia dua jalan yaitu jalan kefasikan dan ketakwaan. Manusia memiliki akal
untuk memilih jalan mana yang ia akan tempuh. Dalam Al-Quran dinyatakan: dan
jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-Nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
menyucikan jiwa itu dan merugilah orang yang mengotorinya. (QS Al-Syams (91),
7-10) Pilihan manusia tentang jalan yang akan ia pilih dalam konflik ini
menentukan apakah ia menjadi orang baik atau tidak.
3. Komponen perilaku mencerminkan bagaimana seseorang
sesungguhnya berperilaku ketika mengalami godaan untuk berbohong, curang, atau
melanggar aturan moral lainnya. Komponen perilaku moralitas (moral behavior)
merupakan tindakan yang konsisten terhadap moral seseorang dalam situasi di
mana mereka harus melanggarnya. Islam menggambarkan bahwa memilih melakukan
jalan yang benar seperti menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Dan Kami telah
menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki
lagi sukar. (QS Al-Balad (90), 10-11) Melakukan sesuatu pada jalan yang benar
merupakan pilihan bagi umat Islam, meskipun sulit.
b. Perkembangan Moral Remaja
Seseorang
dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan
nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Sehingga tugas
penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh
kelompok daripadanya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan
harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman
seperti yang dialami waktu anak-anak.
Remaja
diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke
dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya.
Tidak kalah
pentingnya, sekarang remaja harus mengendalikan perilakunya sendiri, yang
sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru. Mitchell telah meringkaskan
lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja yaitu:
1. Pandangan moral
individu semakin lama semakin menjadi lebih abstrak dan kurang konkret.
2. Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan
kurang pada apa yang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang
dominan.
3. Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Ia mendorong
remaja lebih berani menganalisis kode social dan kode pribadi dari pada masa
anak-anak dan berani mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang
dihadapinya.
4. Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
5. Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal
dalam arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan
ketegangan psikologis.
Pada masa remaja, laki-laki dan perempuan telah mencapai apa yang oleh Piaget disebut tahap pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif. Sekarang remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau proporsi. Jadi ia dapat memandang masalahnya dari berbagai sisi dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai dasar pertimbangan.
Pada masa remaja, laki-laki dan perempuan telah mencapai apa yang oleh Piaget disebut tahap pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif. Sekarang remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau proporsi. Jadi ia dapat memandang masalahnya dari berbagai sisi dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor sebagai dasar pertimbangan.
Menurut
Kohlberg, tahap perkembangan moral ketiga, moral moralitas pascakonvensional
harus dicapai selama masa remaja.tahap ini merupakan tahap menerima sendiri
sejumlah prinsip dan terdiri dari dua tahap. Dalam tahap pertama individu yakin
bahwa harus ada kelenturan dalam keyakinan moral sehingga dimungkinkan adanya
perbaikan dan perubahan standar apabila hal ini menguntungkan anggota-anggota
kelompok secara keseluruhan. Dalam tahap kedua individu menyesuaikan dengan
standar sosial dan ideal yang di internalisasi lebih untuk menghindari hukuman
terhadap diri sendiri daripada sensor sosial. Dalam tahap ini, moralitas
didasarkan pada rasa hormat kepada orang-orang lain dan bukan pada keinginan
yang bersifat pribadi.
Ada tiga
tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
1. Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral
umum.
2. Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke
dalam kode moral sebagai kode prilaku.
3. Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.
Perkembangan
moral adalah salah satu topic tertua yang menarik minat mereka yang ingin tahu
mengenai sifat dasar manusia. Kini kebanyakan orang memiliki pendapat yang kuat
mengenai tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat di terima,
tingkah laku etis dan tidak etis, dan cara-cara yang harus dilakukan untuk
mengajarkan tingkah laku yang dapat diterima dan etis kepada remaja.
Perkembangan
moral (moral development) berhubungan dengan peraturan-peraturan dan
nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya
dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral).
Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu,
melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara
dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang
boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
Teori Psikoanalisis tentang
perkembangan moral menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa dengan
pembagian struktur kepribadian manusia menjadi tiga, yaitu id, ego, dan
superego. Id adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang
irasional dan tidak disadari. Ego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas
aspek psikologis, yaitu subsistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak
memiliki moralitas. Superego adalah struktur kepribadian yang terdiri atas
aspek social yang berisikan system nilai dan moral, yang benar-benar
memperhitungkan "benar" atau "salahnya" sesuatu.
Hal penting lain dari teori perkembangan moral Kohlberg adalah orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkah laku moral dalam arti perbuatan nyata. Semakin tinggi tahap perkembangan moral sesorang, akan semakin terlihat moralitas yang lebih mantap dan bertanggung jawab dari perbuatan-perbuatannya.
Hal penting lain dari teori perkembangan moral Kohlberg adalah orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkah laku moral dalam arti perbuatan nyata. Semakin tinggi tahap perkembangan moral sesorang, akan semakin terlihat moralitas yang lebih mantap dan bertanggung jawab dari perbuatan-perbuatannya.
B. Bentuk – Bentuk Perilaku Menyimpang Remaja
Berdasarkan permasalahan
remaja yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat dispesifikasikan bentuk-
bentuk perilaku menyimpang atau kenakalan remaja yang dibagi menjadi empat
kelompok besar, yaitu:
1.
Delikuensi Individual
Adalah perilaku menyimpang
yang berupa tingkah laku kriminal yang merupakan gejala personal dengan ciri
khas “jahat“ yang disebabkan oleh prodisposisi dan kecenderungan penyimpangan
tingkah laku psikopat, neourotis, dan antisosial. Penyimpangan perilaku ini
dapat diperhebat dengan stimuli sosial yang buruk, teman bergaul yang tidak
tepat dan kodisi kultural yang kurang menguntungkan. Perilaku menyimpang pada
tipe ini seringkali bersifat simptomatik karena muncul dengan disertai
banyaknya konflik-konflik intra psikis yang bersifat kronis dan disintegrasi
pribadi.
2.
Delinkuensi Situasional
Bentuk penyimpangan
perilaku tipe ini pada umumnya dilakukan oleh anak-anak dalam klasifikasi
normal yang dapat dipegaruhi oleh berbagai kekuatan situasional baik situasi
yang berupa stimuli sosial maupun kekuatan tekanan lingkungan teman sebaya yang
semuanya memberikan pengaruh yang “menekan dan memaksa“ pada pembentukan
perilaku menyimpang. Penyimpangan perilaku dalam bentuk ini seringkali muncul
sebagai akibat transformasi kondisi psikologis dan reaksi terhadap pengaruh
eksternal yang bersifat memaksa. Dalam kehidupa remaja situasi sosial eksternal
yang menekan, terutama dari kelompok sebaya dapat dengan mudah mengalahkan
unsure internal yang berupa pikiran sehat, peraaan dan hati nurani sehingga
memunculkan tingkah laku delinkuen situasional.
3.
Delinkuensi Sistematik
Perbuatan menyimpang dan
kriminal pada anak-anak remaja dapat berkembang menjadi perilaku menyimpang
yang disestematisir, dalam bentuk suatu organisasi kelompok sebaya yang
berperilaku seragam dalam penyimpangan. Kumpulan tingkah laku yang menyimpang
yang disestematisir dalam pengaturan status, norma dan peranan tertentu kan
memunculkan sikap moral yang salah dan justru muncul rasa kebanggaan terhadap
perbedaan-perbedaan dengan norma umum yang berlaku.
Semua perilaku menyimpang
yang seragam dilakukan oleh anggota kelompok ini kemudian dirasionalisir dan
dilakukan pembenaran sendiri oleh seluruh anggota kelompok, sehingga perilaku
menyimpang yang dilakukan menjadi terorganisir dan sistematis sifatnya.
Dorongan berperilaku menyimpang pada kelompok remaja terutama muncul pada saat
kelompok remaja ini dalam kondisi tidak sadar atau setengah sadar, karena
berbagai sebab dan berada dalam situasi yang tidak terawasi oleh kontrol diri
dan kontrol sosial. Lama kelamaan perilaku menyimpang ini diulang dan diulang
kembali, dan kemudian dirasakan enak dan menyenangkan yang kemudian
diprofesionalisasikan yang pada akhirnya kemudian digunakan untuk menegakkan
gengsi diri secara tidak wajar.
4.
Delinkuensi Komulatif
Pada hakekatnya bentuk
delikuensi ini merupakan produk dari konflik budaya yang merupakan hasil dari
banyak konflik kultural yang kontroversial dalam iklim yang penuh konflik.
Perilaku menyimpang tipe ini memiliki ciri utama, yaitu:
a. Mengandung banyak dimensi ketegangan
syaraf, kegelisahan batin, dan keresahan hati pada remaja, yang kemudian
disalurkan dan dikompensasikan secara negatif pada tindak kejahatan dan agresif
tak terkendali.
b. Merupakan pemberontakan kelompok remaja
terhadap kekuasaan dan kewibawaan orang dewasa yang dirasa berlebihan.
Untuk dapat menemukan identitas diri lewat perilaku yang melanggar norma sosial
dan hukum.
c. Diketemukan adanya banyak
penyimpangan seksual yang disebabkan oleh penundaan usia perkawinan, jauh
sesudah kematangan biologis tercapai dan tidak disertai oleh kontrol diri yang
kuat, hal ini bisa terjadi karena sulitnya lapangan pekerjaan ataupun
sebab-sebab yang lain.
d. Banyak diketemukan munculnya
tindak ekstrem radikal yang dilakukan oleh kelompok remaja, yang mengganggu dan
merugikan kehidupan masyarakat, yaitu cara untuk memenuhi kebutuhan yang
dilakukan dengan menggunakan cara-cara kekerasan, penculikan, penyadaran dan
sebagainya.
Dengan mencermati bentuk
perilaku menyimpang yang dilihat dari dimensi penyebabnya, maka secara fisik
wujud dari perilaku menyimpang dapat berupa perilaku sebagai berikut :
a. Main kebut-kebutan di jalan
perhitungan bahwa hal tersebut mengganggu keamanan, keselamatan dan
membahayakan jiwa diri sendiri maupun orang lain.
b. Perilaku ugal-ugalan,
berandalan, urakan dan perilaku-perilaku lain yang mengacaukan lingkungan
sekitar. Hal ini sering dilakukan sebagai akibat kelebihan energy dan
dorongan primitive yang tak terkendali, serta upaya mengisi waktu luang tanpa
bimbingan orang dewasa.
c. Perkelahian antar individu,
antar gang, antar kelompok, antar sekolah ataupun antar suku, yang kesemuanya
menunjukan akibat negatif.
d. Membolos sekolah dan
bergelandangan sepanjang jalan atau bersembunyi di tempat terpencil sambil
melakukan berbagai eksperimen perilaku sosial.
e. Perilaku kriminalitas, yang
berupa perbuatan mengancam, intimidasi memeras, merampas dan sebagainya.
f. Berpestapora sambil
mabuk-mabukan dan melakukan perbuatan seks bebas yang mengganggu ligkungan.
g. Perkosaan dan agresifitas
sosial atau pembunuhann karena motif seksual atau didorong oleh reaksi-reaksi
konpensatoris dan peranan inferior yang menuntut pengakuan diri.
h. Kecanduan dan ketagihan obat
terlarang yang erat kaitannya dengan tindak kejahatan.
i. Perjudian dan
bentuk-bentuk permainan dengan taruhan yang mengakibatkan ekses kriminalitas.
j. Perbuatan anti sosial dan
a sosial yang disebabkan oleh gangguan kejiwaan pada anak-anak remaja
simptomatik, neourotik dan gangguan jiwa lain.
k. Penyimpangan-penyimpangan
perilaku lain yang disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak yang menuntut
kompensasi disebabkan oleh organ-organ yang inferior.
C. Perkembangan
Keagamaan Remaja.
Latar
belakang kehidupan keagamaan remaja dan ajaran agamanya berkenaan dengan
hakekat dan nasib manusia, memainkan peranan penting dalam menentukan
konsepsinya tentang apa dan siapa dia, dan akan menjadi apa dia.
Agama,
seperti yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, terdiri atas suatu
sistem tentang keyakinan-keyakinan, sikap-sikap danpraktek-praktek yang kita
anut, pada umumnya berpusat sekitar pemujaan.
Dari sudut
pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan
terakhir baginya. Artinya bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban
terhadap kehausannya akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka
melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.
Dari sudut
pandangan social, seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki
hubungan-hubungan bermakna dengan orang lain, mencapai komitmen yang ia pegang
bersama dengan orang lain dalam ketaatan yang umum terhadapnya.bagi kebanyakan
orang, agama merupakan dasar terhadap falsafah hidupnya.
Penemuan
lain menunjukkan, bahwa sekalipun pada masa remaja banyak mempertanyakan
kepercayaan-kepercayaan keagamaan mereka, namun pada akhirnya kembali lagi
kepada kepercayaan tersebut. Banyak orang yang pada usia dua puluhan dan awal
tiga puluhan, tatkala mereka sudah menjadi orang tua, kembali melakukan
praktek-praktek yang sebelumnya mereka abaikan (Bossard dan Boll, 1943).
Bagi remaja,
agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaiman
dijelaskan oleh Adams & Gullotta (1983), agama memberikan sebuah kerangka
moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama
dapat menstabilkan tingkah laku dan bias memberikan penjelasan mengapa dan
untuk apa seseorang berada didunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa
aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.
Dibandingkan
dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah mengalami
perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka
baru memiliki kemampuan berpikir simbolik. Tuhan dibayangkan sebagai person
yang berada diawan, maka pada masa remajamereka mungkin berusaha mencari sebuah
konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman
remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan
kognitifnya.
Oleh karena itu meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuann dalam perkembangan kognitif, mereka mungkin mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Sehubungan dengan pengaruh perekembangan kognitif terhadap perkembangan agama selama masa remaja ini.
Oleh karena itu meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuann dalam perkembangan kognitif, mereka mungkin mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Sehubungan dengan pengaruh perekembangan kognitif terhadap perkembangan agama selama masa remaja ini.
Dalam suatu
studi yang dilakukan Goldman (1962) tentang perkembangan pemahaman agama
anak-anak dan remaja dengan latar belakang teori perkembangan kognitif Piaget,
ditemukan bahwa perkembangan pemahaman agama remaja berada pada tahap 3, yaitu
formal operational religious thought, di mana remaja memperlihatkann pemahaman
agama yang lebih abstrak dan hipotesis. Peneliti lain juga menemukan perubahan
perkembangan yang sama, pada anak-anak dan remaja. Oser & Gmunder, 1991
(dalam Santrock, 1998) misalnya menemukan bahwa remaja usia sekitar 17 atau 18
tahun makin meningkat ulasannya tentang kebebasan, pemahaman, dan pengharapan
konsep-konsep abstrak ketika membuat pertimbangan tentang agama.
Apa yang
dikemukakan tentang perkembangan dalam masa remaja ini hanya merupakan
cirri-ciri pokoknya saja.
James Fowler
(1976) mengajukan pandangan lain dalam perkembangan konsep religius.
Indiduating-reflexive faith adalah tahap yang dikemukakan Fawler, muncul pada
masa remaja akhir yang merupakan masa yang penting dalam perkembangan identitas
keagamaan. Untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, individu memiliki tanggung
jawab penuh atas keyakinan religius mereka. Sebelumnya mereka mengandalkan
semuanya pada keyakinan orang tuanya.
Salah satu
area dari pengaruh agama terhadap perkembangan remaja adalah kegiatan seksual.
Walaupun keanakaragaman dan perubahan dalam pengajaran menyulitkan kita untuk
menentukan karakteristik doktrin keagamaan, tetapi sebagian besar agama tidak
mendukung seks pranikah.
Oleh karena
itu, tingkat keterlibatan remaja dalam organisai keagamaan mungkin lebih
penting dari pada sekedar keanggotaan mereka dalam menentukan sikap dan tingkah
laku seks pranikah mereka. Remaja yang sering menghadiri ibadat keagamaan dapat
mendengarkan pesan-pesan untuk menjauhkan diri dari seks.
Remaja masa
kini menaruh minat pada agama dan menganggap bahwa agama berperan penting dalam
kehidupan. Minat pada agama antara lain tampak dengan dengan membahas masalah
agama, mengikuti pelajaran-pelajaran agama di sekolah dan perguruan tinggi,
mengunjungi tempat ibadah dan mengikuti berbagai upacara agama.
Sejalan
dengan perkembangan kesadaran moralitas, perkembangan penghayatan keagamaan,
yang erat hubungannya dengan perkembangan intelektual disamping emosional dan
volisional (konatif) mengalami perkembangan.
Para ahli
umumnya (Zakiah Daradjat, Starbuch, William James) sependapat bahwa pada garis
besarnya perkembangan penghayatan keagamaan itu dapat di bagi dalam tiga
tahapan yang secara kulitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda. Adapun
penghayatan keagamaan remaja adalah sebagai berikut:
1). Masa
awal remaja (12-18 tahun) dapat dibagi ke dalam dua sub tahapan sebagai
berikut:
a) Sikap
negative (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya
yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hipocrit (pura-pura)
yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya.
b) Pandangan
dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar
berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau
bertentangan satu sama lain.
c)
Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic(diliputi kewas-wasan) sehingga banyak
yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya
dengan kepatuhan.
2). Masa
remaja akhir yang ditandai antara lain oleh hal-hal berikyut ini:
a) Sikap
kembali, pada umumnya, kearah positif dengan tercapainya kedewasaan
intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelanh dewasa.
b) Pandangan
dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan
dipilihnya.
c)
Penghayatan rohaniahnya kembali tenanh setelah melalui proses identifikasi dan
merindu puja ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan
manusia penganutnya, yang baik shalih) dari yang tidak. Ia juga memahami bahwa
terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi
seyogyanya diterima sebagai kenyataan yang hidup didunia ini.
Menurut
Wagner (1970) banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari
rangsangan emosial dan intelektual. Para pemuda ingin mempelajari agama
berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu
saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin manjadi agnostik atau atheis,
melainkan karena ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan
keinginan mereka untuk mandiri dan bebas menentukan keputusan-keputusan mereka
sendiri.
D. Implikasinya
bagi Pendidikan
Memperhatikan permasalahan yang
mungkin timbul dalam kehidupan masa remaja, sudah jelas kata Conger (197:ix)
pemahaman dan pemecahannya harus dilakukan secara interdisipliner dan
antarlembaga. Meskipun demikian, pendekatan dan pemecahannya dari pendidikan merupakan
salah satu jalan yang paling strategis karena bagi sebagian besar remaja
bersekolah dengan para pendidik, khususnya gurulah, mereka itu paling
banyak mempunyai kesempatan berkomunikasi dan bergaul.
Di antara usaha-usaha pembinaan, sekurang-kurangnya untuk mengurangi
kemungkinan tumbuhnya permasalahan tersebut di atas, dalam rangka kegiatan
pendidikan yang dapat dilakukan para pendidik umumnya dan para guru khususnya,
ialah:
(a) Untuk
memahami dan mengurangi permasalahan yang berhubungan dengan perkembangan fisik
dan perilaku psikomotorik, antara lain:
(1)
Seyogiannya dalam program dan kegiatan pendidik tertentu, diadakan
program dan perlakuan layanan khusus bagi siswa remaja pria dan wanita
(misalnya, dalam pelajaran anatomi dan fisiologi dan pendidikan olahraga) yang
diberikan pula oleh para guru yang dapat menyelenggarakan penjelasan nya dengan
penuh dignity;
(2)
Disamping itu melalui bentuk-bentuk pendidikan secara formal tersebut,
kiranya dapat pula diadakan diskusi atau panel atau ceramah tamu tentang
pendidikan jenis (sex education), bahaya-bahaya dari perilaku menyimpang
dalam pemuasan kehidupan seksual (masturbasi, onani, prostitusi, dan
sebagainya) terhadap kesehatan serta perkembangan jasmani dan rohani yang
sehat;
(3) Role
playing, akan sangat tepat untuk mengurangi ekses sosial dari perkembangan
fisik dan perilaku psikomotorik, yang sebenarnya merupakan hal wajar (natural)
terjadi tidak perlu merupakan keanehan yang baru ditabukan secara berlebihan.
(b) Untuk
memahami dan mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan yang berhubungan
dengan perkembangan bahan perilaku kognitif, antara lain:
(1)
Kepada para guru bidang studi tertentu seperti bahasa asing, matematika,
seni suara, dan olahraga, tampaknya dituntut pemahaman yang mendalam dan
perlakuan layanan perndidikan dan bimbingan kebijaksanaan sehingga siswa-siswa
remaja yang biasanya mengalami kesulitan dan kelemahan tertentu dalam
bidang-bidang studi yang sensitif tersebut tidak menjurus kepada
situasi-situasi frustasi yang mengandung lahirnya reaksi-reaksi mekanisme
pertahanan diri atau defence mechanism atau sikap-sikap dan
tindakan-tindakan yang negatif destruktif, baik terhadap bidang studinya maupun
gurunya;
(2)
Penggunaan strategi belajar-mengajar yang tepat (individualize
atau small group based instruction) untuk membantu siswa-siswa
yang tepat (the accelerated students), dan yang lambat (the
slow leaners) misalnya menggunakan sistem belajar modul;
(3)
Penjurusan atau pemilihan dan penentuan program studi seyogyanya
memperhitungkan segala aspek selengkap mungkin dengan data atau informasi
secermat mungkin yang menyangkut kemampuan dasar intelektual (iq), bakat khusus
(aptitudes), di samping aspirasi atau keinginan orangtuanya dan siswa
yang bersangkutan.
b)
Untuk memahami dan mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan yang
berhubungan dengan perkembangan perilaku social, moralitas dan kesadaran hidup
atau penghayatan keagamaan, antara lain:
1)
Diusahakan terciptanya suasana dan tersedianya fasilitas yang memungkinkan
terbentuknya kelompok-kelompok perkumpulan remaja yang mempunyai tujuan-tujuan
dan program-program kegiatan yang positif konstruktif berdasarkan minat,
keolahragaan, kesenian, keagamaan, hobi, kelompok belajar atau seperti diskusi,
yang diorganisasikan oleh mereka sendiri dengan guidance dari para
pendidik seperlunya;
2)
Diaktifkannya rumah dengan sekolah (parent-teacher association) untuk
saling mendekatkan dan menyelaraskan system nilai yang dikembangkan dan cara
pendekatan terhadap siswa remaja serta sikap dan tindakan perlakuan layanan
yang diberikan dalam pembinaannya;
3)
Pertemuan dan kerja sama antarkelembagaan yang mempunyai tugas dan kepentingan
yang bersangkutan dengan kehidupan remaja secara rasional (sekolah, lembaga
keagamaan, lembaga kesehatan, lembaga keamanan, lembaga pengabdian kanak-kanak,
lembaga konsultasi psikologis, guidance and consulting centre, jawatan
sosial, jawatan penempatan tenaga kerja, lembaga kesehatan mental, dan
sebagainya), tampaknya akan sangat bermanfaat dalam rangka membantu para remaja
mengembangkan program-program pembinaan minat, karier, dan aktifitas lainnya.
c)
Untuk memahami dan mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan yang
berhubungan dengan perkembangan fungsi-fungsi konatif, afektif, dan kepribadian,
antara lain:
1)
Sudah barang tentu jalan yang paling strategis untuk ini ialah apabila para
pendidik terutama para orang tua dan guru dapat menampilkan pribadi-pribadinya
yang dapat merupakan objek identifikasi sebagai pribadi idola para remajanya;
2)
Pemberian tugas-tugas yang dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab, belajar
menimbang, memilih dan mengambil keputusan atau tindakan yang tepat akan sangat
menunjang bagi pembinaan kepribadiannya.
BAB
III
CRITICAL
THINKING
A.
Critical Thinking
Masa muda (remaja) merupakan masa
pencarian jati diri dan masa labil. Masa
remaja identik dengan istilah moral atau moralitas dan keagamaan. Karena
masa remaja sering terjadi penyimpangan di moralitas dan keagamaan.
Pada
sub ini, yang terkenal adalah teori menurut Kohlberg, dimana mempunyai 3 tahap
dalam perkembangan moral, yaitu pra-konvensional,
konvensional, dan pasca-konvensional. Menurutnya moral moralitas
pascakonvensional harus dicapai selama masa remaja.tahap ini merupakan tahap
menerima sendiri sejumlah prinsip dan terdiri dari dua tahap Dalam tahap
pertama individu yakin bahwa harus ada kelenturan dalam keyakinan moral
sehingga dimungkinkan adanya perbaikan dan perubahan standar apabila hal ini
menguntungkan anggota-anggota kelompok secara keseluruhan. Dalam tahap kedua
individu menyesuaikan dengan standar sosial dan ideal yang di internalisasi
lebih untuk menghindari hukuman terhadap diri sendiri daripada sensor sosial.
Dalam tahap ini, moralitas didasarkan pada rasa hormat kepada orang-orang lain
dan bukan pada keinginan yang bersifat pribadi.
Perkembangan
moralitas pasti berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai
keseharian bagaimana berinteraksi dengan orang lain. Setiap manusia dari
lahirnya sudah memiliki potensi untuk ke arah tersebut. Maka walaupun pada saat
masa kanak-kanak tidak mempunyai moral (imoral), sesungguhnya itu hanya awal
agar dapat dilatih potensi si anak tersebut untuk ke arah tersebut.
Berbeda lagi
dengan teori psikoanalisis, teori ini mempunyai 3 struktur kepribadin manusia.
3 struktur kepribadian manusia tersebut
adalah id, ego dan superego. Id adalah kepribadian tampak pada biologis dan
bersifat abstrak dan tak disadari, ego adalah kepribadian dari psikologis dan
rasional serta disadari tetapi tak bermoral, superego adalah kepribadian yang
dapat menentukan baik dan buruk serta bermoral.
Masa remaja juga banyak melakukan
penyimpangan-penyimpangan. Bentuk penyimpangan terbagi menjadi empat, yaitu Delikuensi Individual, Delinkuensi Situasional,
Delinkuensi Sistematik, dan Delinkuensi Komulatif. Bentuk penyimpangan ini
mempunyai ciri khusus, ciri khusus
tersebut adalah ketegangan, radikal, pemberontakan an penyimpangan seksual.
Karena dalam hal ini banyak sekali yang dibebankan pada remaja.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut dapat berkurang
atau terbatasi oleh adanya agama. Karena di dalam agama terisikan
peraturan-peraturan yang mengekang keinginan hawa nafsu diri. Apalagi di
remaja, hawa nafsunya terletak di puncak tertinggi. Maka tampak bahwa seorang
remaja yang sering mengikuti pengajian-pengajian di masing-masing agamanya
dapat menahan hawa nafsunya dan tidak melakukan penyimpangan-penyimpangan.
Kemudian, dalam pendidikan, yang sangant berperan
adalah seorang guru. Maka guru harus mengetahui keadaan psikologis dn karakter
dari si anak didik tersebut, dengan cara guru tersebut berkomunikasi dan
bergaul dengan anak didiknya. Karena pembibingan terbaik dalam pembenahan
moralitas dan kegamaan seorang remaja dengan cara tersebut. dampak lainnya,
agar dalam berlangsungnya proses belajar mengajar dapat berjalan kondusif.
BAB
IV
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa:
a.
Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang
penting dalam siklus perkembangan individu, dan merupakan masa transisi yang
dapat diarahkan kepada perkembangan masa dewasa yang sehat. Untuk itu
diperlukan pembinaan dalam hal moralitas dan keagamaannya, agar remaja tidak
kehilangan arah tujuannya melalui proses pendidikan sebagai wahananya.
b.
Moral
dan agama sangat berpengaru penting dalam perkembangan seorang remaja, karena
pada masa remaja adalah masa kelabilan dan sangat mudah meniru dan dipengaruhi.
c.
Pendidikan
adalah wahana bagi para remaja untuk mengasah potensi dalam hal moral dan
agama, agar para remaja tidak tersesat dalam memperoleh tujuannya.
DAFTAR PUSTAKA
Harlock, Elizabeth. B. 1998. Psikologi Perkembangan suatu pendekatan
sepanang rentang pendidikan. Jakarta; Erlangga
Hartinah,
Siti. (2008). Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Refika Aditama
Mulyani, Sri. Konsep Ahlussunnah
wal Jama’ah tentang Etika (2).http://www.nu.
or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=7672
Purwakanian, Hasan Aliah B. 2008. Psikologi Perkembangan Islam, Menyingkap Rentang Kehidupan Manusia dari
Prakelahiran hingga Pascakematian. Jakarta:PT.Grafindo Perkasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar